Mari memetik bunga cempaka
Bunga terletak di tepi kali
Untuk apa hidup di dunia
Jikalau tak berguna bagi negeri
Masuk ke hutan mencari lontar
Tapi memilih mengambil rotan
Kalaulah saudara memang pintar
Binatang apa lebar kepala dari badan
(pantun-anonim*)
Nyaris Batal
Ragu-ragu, adalah reaksi pertama ketika melihat poster kegiatan bertema literasi yang akan diadakan di Balikpapan. Mau ikut, tapi nggak pede. Mau ikut tapi saya harus menyelesaikan tulisan yang masuk tenggat waktu. Mau ikut, ‘ntar gimana sama si kecil?’ Sudahlah, saya putuskan saja tidak ikut. Tapi, dasar berjodoh, akhirnya satu hari sebelum acara, panitia lokal mengontak saya, mengabarkan bahwa ada peserta yang batal ikut. Setelah beres perizinan dengan Paksu, alhamdulillah saya ikut.
Namun, ketika tiba di lokasi acara pada siang hari, saya ditolak karena ketidaklengkapan berkas fisik. Akhirnya saya putuskan membatalkan acara dan santai sejenak untuk menyelesaikan tulisan blog. Dasar jodoh, tak terasa sore hari, panitia lokal (dari Balikpapan) rupanya menelepon beberapa kali agar saya masuk ke tempat acara dan berbicara dengan panitia inti (dari Jakarta dan luar kota) agar mengizinkan mereka untuk mencetak berkas. Syukurlah saya masih di sekitar hotel dan alhamdulillah meski telat, akhirnya selama 5 hari berturut-turut, saya bisa mengikuti pelajaran sepenuhnya tanpa sakit, tanpa malas-malasan, tanpa kerokan karena sering begadang, tanpa bolos, hanya telat karena kelamaan makan atau sholat. Bahkan tanpa mandi sore juga.
Yeaaay!
Kegiatan “Bimbingan Teknis Fasilitator Literasi Baca–Tulis Tingkat Regional Kalimantan” ini diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia melalui unit Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Para peserta terdiri dari guru, pegiat dan penggiat literasi dari berbagai komunitas, serta penyuluh bahasa se-Kalimantan. Kami belajar dan menginap selama lima hari berturut di Hotel Gran Senyiur Balikpapan, dari 29 April – 3 Mei 2019. Jadi, tulisan ini adalah hasil kegiatan sebelum bulan Ramadan yang baru saya terbitkan bulan ini.
HARI PERTAMA
Nenek Moyang Literasi
HARI PERTAMA
Nenek Moyang Literasi
Karena saya hampir saja pulang, jadi saya tak pahamlah apa pun yang dicakapkan pada pembukaan dan penyambutan. Setelahnya peserta dibagi menjadi dua kelas, A dan B. Kelas A didominasi para guru. Sedangkan kelas B didominasi para pegiat ditambah penyuluh. Masing-masing kelas sekitar 40 orang. Kenapa ya mesti dibedakan? Awalnya saya kira untuk menyesuaikan kebutuhan kelas sebagaimana kelas pada umumnya agar peserta bisa menyerap ilmu lebih baik. Tapi, selain itu ada kenyataan lain yang mesti saya diterima : akan ada tugas tampil per orang. Kaget secuil saya mah.
Sebelum semua itu terjadi, para peserta diminta mengambil kunci kamar masing-masing sekaligus mencari tahu teman sekamarnya. Mulanya saya sekamar dengan Yulia, Mbak Guru dari Bontang. Namun, karena masing-masing orang ingin sekamar dengan orang yang mereka kenal alias satu kota, singkat cerita Yulia bersama temannya dari Bontang dan saya sekamar dengan Rinne, sosok perempuan muda yang saya kagumi dari Pena dan Buku Balikpapan. Saya dan Rinne pernah jumpa sebelumnya.
Pena dan Buku. Taman baca di dalam Pasar Klandasan Balikpapan yang dikelola secara mandiri oleh Rinne dan kawannya, Yusna |
Kali kedua masuk, kelas sudah terpisah menjadi Kelas A dan B yang terasa lebih lengang. Tidak banyak wajah yang saya kenal karena tidak banyak peserta dari Balikpapan. Hanya ada tiga orang dari Balikpapan yang ada di kelas B: saya, Rinne dan Wiki (yang saat itu kami belum berkenalan). Peserta dari Balikpapan juga ada di kelas A, tapi saya akan bercerita kelas saya saja ya, yakni Kelas B.
Sebelum memulai materi, kami disuguhkan tes awal. Setiap tes bernilai persentase tertentu yang akan diakumulasikan bersama dengan nilai kehadiran, keaktifan, kreativitas dan kerja sama. Dipandu oleh Pak Raden Sunny—kami memanggilnya Pak Sunny, atau sebut saja beliau ini Wali Kelas B, selama 5 hari kelas makin berkembang menjadi ramai dan mengasyikkan. Materi pertama masih terasa santai, kami belajar tentang Gerakan Literasi Masyarakat dan Cara Pengelolaan Komunitas Literasi. Pembahasan ini lebih banyak memberikan contoh praktik TBM dan sesi berbagi aktivitas masing-masing peserta. Untuk saya yang berasal dari komunitas literasi digital, salut luar biasa kepada teman-teman pegiat yang berjuang mengkampanyekan literasi baca-tulis hingga ke pelosok-pelosok. Cerita-cerita mereka menjadi nyawa bagi negeri ini.
HARI KEDUA DAN KETIGA
HARI KEDUA DAN KETIGA
Asah Kreativitas, Haiku dan Tangan yang Kelelahan
Hari kedua dimulai dengan sarapan, hehe. Maksudnya, hari-hari selanjutnya kelas dibuka pada pagi hari setelah sarapan. Kami sudah diwanti-wanti akan ada banyak tugas nantinya.
Selain pegiat literasi dari TBM, saya baru tahu di kelas B juga ada penulis buku yang karyanya telah diterbitkan penerbit mayor, ada pula penulis puisi, ada pula sejarawan.
Kelas pagi itu diisi dengan kreativitas, mengemas kegiatan baca-tulis dengan berbagai kegiatan dan aksi yang baik untuk menarik minat di TBM. Kami diminta berkelompok untuk menunjukkan keahlian. Saya dan teman-teman satu tim menamai kelompok kami lumba-lumba. Entah apa filosofinya, saya lupa. Kami membuat puisi, membacakannya di depan kelas. Masing-masing tim tampil menakjubkan. Ada tim yang berhasil membuat saya merinding ketika membacakan puisinya. Secara berkelompok, kami juga membuat kreasi dari kertas kokoru stripe yang selanjutnya berkembang menjadi beragam ide cerita.
kertas kokoru, sebagai media kreativitas. Bisa digunakan untuk mendongeng, pengantar ketertarikan minat baca-tulis |
Literasi baca-tulis bisa dikatakan sebagai literasi tertua dari enam literasi dasar yang ada: literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya dan kewarganegaraan. Karena proses menulis dan membaca sudah diterapkan sejak dahulu kala, sejak manusia awal diciptakan, sejak manusia baru dilahirkan dan sebelum literasi lain berkembang. Karena itulah literasi baca-tulis disebut sebagai nenek moyang literasi.
Tidak hanya tes tertulis awal dan akhir, kami pun diajak mengembangkan kemahiran dengan tes-tes lainnya. Semuanya sudah pasti berkaitan dengan literasi baca-tulis. Untuk tugas membaca, ada teknik membaca puisi yang berbeda dengan membaca pidato, berbeda pula dengan membaca berita yang tidak sama dengan membaca prosa. Hasilnya keren-keren, ada teman-teman yang cocok banget jadi penyiar radio TVRI. Saya sendiri kebagian jatah membacakan ulang sebuah cerita tanpa membawa teks.
Sedangkan pada tugas tertulis, kami diminta membuat puisi bertema kritik sosial, pantun nasihat, karya tulis sederhana bertema perundungan, esai dan membuat haiku.
HAIKU adalah puisi pendek yang berasal dari Jepang. Haiku merupakan puisi yang menggunakan bahasa sensorik untuk menangkap perasaan atau gambar. Haiku dibuat dalam tiga larik (baris). Larik pertama mengandung 5 suku kata, larik kedua 7 suku kata, dan larik ketiga berisi 5 suku kata. Meskipun ada perbedaan tentang Haiku 5-7-5 ini di luar sana, tugas kami tetap membuat Haiku berdasarkan patokan suku kata 5-7-5 dengan memuat unsur alam.
Semua ini harus kami tulis dengan tangan. Asli, seandainya bisa keriting tangan ini, mungkin pulang dari kegiatan langsung saya rebonding. Di satu sisi memang lelah, di sisi lain ada juga manfaat dan kesenangan menulis dengan tangan lho. Setelah beberapa lembar tulisan saya nggak karuan, awut-awutan, miring ke kanan goyang ke kiri, pada lembar terakhir mulai terasa lebih rapi. Ya, aslinya menyenangkan menulis dengan tangan.
PUISI
Lelaki penuh daki
Duduk bersila di balik jeruji
Boroknya menyala-nyala mendatangkan makhluk diptera
Punggungnya terpapar dari balik rombengan
Separuh kakinya menyuguhkan nestapa
Di samping, anak kumalnya berisik
... **lewati
Hari menggelap, lelaki penuh daki beranjak
Separuh kakinya dikeluarkan dari lubang
Di samping, anak kumalnya menghitung jatah
.... **lewati
HAIKU
Hu-tan yang rin-dang
Bu- rung mem-bu-at sa-rang
Ke-ka-sih da-tang
(ini adalah tugas puisi dan haiku yang telah saya buat. Saya tidak tahu di mana letak kekurangannya. Siap menerima masukan bila berkenan)
Hari ketiga kami belajar menyunting draf secara mandiri atau yang disebut swasunting. Kami ditekankan bahwa aktivitas ini sangat penting, karena masih ada penulis yang menyepelekannya. Swasunting bukan hanya mengecek saltik (salah tik) atau yang jamak disebut typo, swasunting juga harus fokus pada tujuan dan konsistensi tulisan, penyajian, kepatutan, diksi, serta legalitas.
Ada pula pembelajaran bagaimana mengonversikan tulisan, yakni mengubah teks ke bentuk teks lainnya, contoh : mengubah cerpen menjadi puisi, mengubah teks observasi atau narasi menjadi novel, atau mengubah novel menjadi teks skenario dan sebaliknya. Lagi-lagi semua ini pun harus digarap dengan pena dan kertas. Seru kan pegalnya?
HARI KEEMPAT DAN KELIMA
HARI KEEMPAT DAN KELIMA
Rencana Aksi yang Membuat Gugup
Hari-hari selanjutnya masing-masing peserta diminta untuk membuat Rencana Aksi Literasi Baca-Tulis, ini mirip seperti membuat RPP ala para guru, namun memiliki beda format. Sebenarnya saya punya beberapa tulisan yang mesti kejar tayang, sehingga sempat mengabaikan pembuatan Rencana Aksi. Tapi, ya karena sudah nginap di hotel, nggak perlu mikir urusan rumah tangga, dapur, kasur, sumur, masa’ iya nggak dikerjain. Saya dan Rinne pun akhirnya punya kelakuan yang sama, begadang demi tugas. Selain membuat Rencana Aksi dalam format digital, kami juga harus menyiapkan presentasi untuk micro teaching di depan peserta dan tim penilai.
salah satu peserta membawakan rencana aksinya. |
Peserta yang membawakan rencana aksinya. Tema : mengajarkan ibu-ibu di kampung bagaimana menulis resep masakan yang tepat. |
Sudah lama saya tidak berdiri di depan kelas, berjuta deg deg serr rasanya, belum lagi ada selipan pikiran bahwa saya sedang dinilai dan kayaknya materi yang saya bawakan salah deehh. Tugas yang diminta adalah literasi baca-tulis disesuaikan dengan komunitas yang digeluti. Karena saya sebagai narablog, saya pun membuat materi ‘menggiatkan menulis dengan platform digital’ yang kemudian membuat saya merenung : ini masuk kategori literasi baca-tulis atau literasi digital ya? Ada menulisnya tapi ada digitalnya. Aih, pusyiing. Mau diganti, capek dong. Lagian salah sendiri, kenapa tidak didiskusikan.
(nb : foto saya saat rencana aksi tidak dapat ditemukan)
SEMANGAT, SEMANGAT, SALUT !
Pada akhirnya, sangat lega setelah tampil, setelah menyaksikan kawan-kawan yang maju lebih dulu pada hari-hari sebelumnya. Sekali lagi saya salut dengan teman-teman sekelas yang datang dari beragam profesi. Ada yang mengajarkan bagaimana membuat pantun dan syair yang tepat, ada yang membawakan materi cara membuat buku anak, kiat-kiat swasunting, ada pula peserta yang membawa boneka dari kampung halaman untuk mendongeng di depan kami.
Mendongeng memang bukan bagian dari literasi baca-tulis, namun cara ini bisa dipakai untuk mengawali materi untuk menarik minat audiensi. Intinya mereka memukau! Banyak hal yang baru saya ketahui yang tidak bisa diperinci di sini. Materi terakhir yang saya ingat adalah penguatan berbahasa, termasuk pembahasan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia).
Sekolah kami berakhir ketika digabung kembali dengan Kelas A, ditutup dengan tes akhir, acara penutupan, dan pastinya foto-foto bersama. Kegiatan ini tidak hanya bertujuan untuk mengenalkan, dan mengedukasi peserta mengenai literasi baca-tulis, namun juga mengetahui sejauh mana potensi dan minat peserta, apakah pada literasi baca atau tulis? Sehingga nantinya peserta dapat diberdayagunakan sesuai kemampuannya.
Karena banyak teman-teman dari luar provinsi, kami pun menyempatkan jalan-jalan. Saya dan beberapa teman pergi ke Pantai Kilang, rumah Dahor, dan menengok rumah lengkung serta tak lupa nge-mall. Malamnya, masih sempat pula kami jalan-jalan hingga pukul 2 malam baru tiba di hotel. Sungguh luar biasa murid-murid Kelas B ini lho! Jempol.
Karena bergabung bersama teman-teman se-Kalimantan, saya baru menyadari bahwa Pulau Kalimantan ternyata memiliki dua zona waktu yang berbeda, yakni WIB dan WITA.
Karena bergabung bersama teman-teman se-Kalimantan, saya baru menyadari bahwa Pulau Kalimantan ternyata memiliki dua zona waktu yang berbeda, yakni WIB dan WITA.
menyempatkan jalan-jalan ke pantai |
Rumah Cagar Budaya Dahor. Rumah Dahor merupakan rumah pekerja kilang minyak zaman Belanda sekitar tahun 1920. |
Satu adegan terbaik yang selalu bergema di antara kami adalah : ‘semangat, semangat, salut’ yang merupakan yel Kelas B dengan dipandu Amral (KalTaRa). Pencipta yelnya sungguh jempolan, membuat seisi kelas anti ngantuk.
sebagian peserta pria dari Kelas B bersama narasumber, Palupi Mutiasih |
saya dan beberapa peserta dari Kalimantan Barat |
Dibalik kehebohan, keramaian, nyatanya ada juga rindu yang terpendam. Keakraban baru mengalir lancar, bibit-bibit kedekatan baru saja ditancapkan, sayang sekali 5 hari ternyata masih kurang. Masing-masing harus segera ke kampung halaman, menjalankan amanah dan menebar cita-cita mulia. Saya pribadi merasa begitu banyak PR setelah mengikuti kegiatan ini. Menjadi fasilitator literasi baca-tulis sepertinya terlalu tinggi, ketika menyadari banyak hal mesti saya benahi. Saya yakin bahkan dalam tulisan ini pun masih banyak terdapat cacat. Bagaimana pun, saya bersyukur bisa mengikuti kegiatan ini dan berjumpa orang-orang keren dalam hidup saya. Salut untuk semua peserta, semangat untuk diri saya.
Terima kasih.
Salam,
Lidha Maul
28 Comments
wahh selamat dulu nih udah sukses ikutan bimtek ini. . ilmunya banyak.. temen tambah banyak... menang banyak lah ya pokoknya..hehe
ReplyDeleteMembuat Haiku kayanya emnantang banget ya mba, cuma 3 baris tapi harus ada makna yang tercakup di dalamnya
ReplyDeletemakasih sharingnya
ReplyDeleteaih keren sangat Mbak Lidha. Apakah ada pemenangnya?
ReplyDeleteTrus ada kritik pada karya Mbak Lidha, gak?
Karyanya keren euy, kekurangannya hanyalah, kenapa ada kata " **lewati"? Pengen lihat yang lengkapnya. :D
Gak disebutin pemenang dan total nilai kami.
Delete**Lewati itu karena (1) puisinya cukup panjang (2) tugas saya salin di kertas dan dikumpul, saya gak sempat motret. Jadi pakai memori aja ini mba
Bikin puisi gak gampang banget buat aku nih.. 1-2 bait mikirnya keras banget tuh. haha.. Semangat belajar teruss. .
ReplyDeleteWah berarti memang jodoh, akhirnya bisa ikut acara ini ya. Pasti banyak ilmu yang di dapat selama 5 hari itu. Kenangan yang nggak terlupakan tentunya, dapat ilmu, kenal teman2 baru.
ReplyDeleteBtw itu pantainya indaaah.
Alhamdulillah masih sempat main ke pantai yak...meskipun acaranya padat merayap...hehe.. semangat..semangat..salut!
ReplyDeleteUwoo uwooo ini sih KEREN BANGET Mba
ReplyDeleteBersyukur bgt ya bisa dapat kesempatan buat ikutan acara ini
Moga2 next year aku juga kebagian rezeki berburu ilmu!
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Literasi saja ada nenek moyangnya ya mbak, tapi memang bicara soal literasi ini memang sangat penting terus diadakan dan ditularkan ke anak-anak khususnya ya.
ReplyDeleteSenang sekali bisa acara ikutan acara seperti ini nambah teman dan ilmu tentang literasi. Beberapa waktu lalu saya jg ikutan yg dibengkulu tapi 3 hari aja mbak.
ReplyDeleteMemang benar sih ya, Mbak, sebelum adanya literasi sains, literasi keuangan, dll, literasi baca tulis memang sudah ada dari zaman dahulu banget. Pantaslah cocok disebut sebagai nenek moyang literasi. Dan saya baru tahu ini.
ReplyDeleteSenengnya ya, abis bertemu dengan teman-teman, bisa deh liburan ke pantai untuk menghilangkan penat.
Aihh kerennya mbak bisa ikutan acara literasi baca tulis ini. Kayaknya di Semarang juga ada, cuma saya emang nggak bisa ikut dan nggak daftar akhirnya. Btw, puisi yang Haiku itu keren loh, susah bikin puisi pendek
ReplyDeleteTadinya saya taunya literasi memang hanya untuk baca tulis. Ternyata ada 6 literasi dasar. Tetapi, gak salah juga, ya. Ternyata baca tulis memang literasi tertua. Makanya yang langsung keinget memang baca tulis
ReplyDeleteWaaah pasti seru banget ya bisa belajar literasi selama 5 hari dengan peserta dari seluruh Indonesia. Banyak ilmu pastinya ya Mbak.
ReplyDeleteYa ampun aku dah lupa caranya bikin puisi mbaaa. Kagak puitis juga sih orangnya.
ReplyDeleteKalau aku suka tuh baca puisi sastra lama kek syair, gurindam, pantun.
Emang kalau rejeki tuh ga kemana2 ya, Mba. Akhirnya dpt juga ilmu ttg literasi.
ReplyDeleteSeru dan bergizi ya acaranya, pengen banget ikutan acara seperti ini buat nambah ilmu. Semoga ada rezekinya bisa ikutan juga...
ReplyDeletemasyaaallah mba, proses 5 hari training di Balikpapan untuk menjadi fasilitator literasi baca-tulis luarbiasa lho. Semoga lancar-lancar terus ya
ReplyDeleteWah seru nih ya bisa banyak belajar begini. Selain dapat ilmu baru kita bisa juga mendapatkan pengalaman dan teman baru.
ReplyDeleteBarakallah. Kalau sudah rejeki Tak akan kemana ya Kak. Akhirnya bisa ikutan bimtek yang acaranya seru banget. Materinya bagus-bagus. Ada tesnya juga ya yang lumayan bikin puyeng. Selamat menjalankan amanah literasi.
ReplyDeleteWow acara yang seru ini. Udahlah bisa ngumupul bareng temen, terusnya dapet banyak banget ilmu dan pengalaman. Mupeng deh :D
ReplyDeleteWah senangnya yang bisa ikutan bimtek ini. Isinya bergizi semua nih materinya. Jadi pengen juga ikutan
ReplyDeleteLuas beruntung sekali Mbak Lidha terpilih jadi salahsatu peserta yg ikutan bimtek yah. Nambah ilmu, temanz dan pengalaman nih ya. Good luck selalu Mbak Lidha
ReplyDeleteMakasih udah berbagi kisahnya ya mbak.
Lumayan nih mba ikut workshop kyk gini jadi tambah ilmu dan bnyk temen juga aku juga klo Ada lg di Jakarta
ReplyDeletePentingnya budaya literasi yaa..
ReplyDeleteDaaan...selamat untuk kak Lidha.
Seru banget Mak kegiatannya. Puas lah ya itu sampai lima hari kumpul temen yang seperjuangan. Mantaaaap
ReplyDeleteWah keren niih. Kebayang kegiatannya padet bsnget ya mba... btw, sy dulu tinggal d balikpapan di blkg smp 1 , sy jg baruntahu di pasar klandssan ada taman baca.. keren y.... kapaan sy kesana lagii
ReplyDeleteHai, bila tidak memiliki link blog, bisa menggunakan link media sosial untuk berkomentar. Terima kasih.