Ini adalah sebuah kisah lama yang tidak ingin semata-mata hanya saya kenang dalam hidup. Ini adalah sebuah kisah tentang berbagi dan sekarang saya ingin membagikannya di sini. Dalam tahun-tahun perjalanan hidup saya, kisah ini telah menjadi guru yang baik dan telah beberapa kali menuntun ketika saya mulai terseok-seok meniti hidup. Kisah ini tentang seorang gadis kecil dan Ibunya. Gadis ini meyakini hidup keluarganya saat itu dalam perekonomian yang sukar. Dia dan keluarganya : Bapak, Ibu dan adiknya yang masih balita, saat itu masih menumpang di rumah Nenek-Kakek (orang tua Bapak). Keluarga ini tidak sendirian, masih ada keluarga lain di rumah Nenek-Kakek itu. Singkatnya, dua keluarga ini tinggal bersekat dinding dari kediaman Nenek-Kakek yang juga tinggal bersama Buyut (orang tua Nenek) dan putra mereka yang gadis kecil itu sebut sebagai Paman.
Kediaman kami saat itu bukanlah rumah dengan kamar yang lengkap, kami tinggal dalam sebuah kamar berukuran 3x3 meter. Empat orang di dalam satu kamar, yang mana kamar itu juga dipenuhi lemari, meja dan satu ranjang yang besar. Karena tentu saja, kami tidak mungkin tidur dalam satu ranjang, maka seringkali saya tidur di bawah kolong ranjang, atau pilihannya Ibu yang tidur di lantai. Kondisi demikian tidaklah selamanya menjengkelkan, saya bahkan mengenangnya sebagai ‘kamar yang indah’. Kami memang tidak memiliki ruang tamu, yang ada hanyalah koridor sempit penerima tamu. Koridor yang harus saya lalui ketika ingin ke dapur atau ke kamar mandi Nenek di sebelah.
Masa yang tidak menyenangkan muncul ketika malam-malam melewati koridor dan saya harus mendapati kepulan asap rokok bercampur dengan suara keras orang dewasa yang terbahak-bahak sambil melontarkan humor-humor dewasa. Kadang-kadang saya penasaran, lalu ikut duduk mendengarkan obrolan mereka dan tertawa-tawa juga. Sayangnya, ketika masuk kamar lagi, saya sering mendapati Ibu yang bersedih, duduk lama di atas sajadahnya.
Ibu kemudian memangku saya dan berkata :“Nak, kita sama-sama berdoa ya, biar Allah kasih kita rumah.”Saya masih kecil untuk paham semuanya, hingga sering saya bertanya.“Memang Allah bisa kasih kita rumah Bu?”
Agak sulit mencerna harapan orang tua saat itu, yang saya ingat saya saja tidak bisa beli buku, kebanyakan buku cetak harus saya pinjam dulu dari teman dan saya catat di buku-buku tulis bekas yang sudah saya jahit, kami juga tidak memiliki kendaraan pribadi. Jadi, memiliki rumah sendiri rasanya impian yang terlalu tinggi, ditambah orang tua Bapak yang akan murka jika Bapak- sebagai anak tertua harus pergi.
Suatu hari, ketika usai bermain dan tiba waktunya makan.
Saya masih ingat, hari itu Ibu memasak ikan goreng yang cukup banyak dan sayur bening. Sungguh istimewa sekali, karena biasanya tidak selengkap itu makanan kami. Saya sudah menghitung jatah ikan saya dan merencanakan makan yang banyak.
Lalu, datanglah perempuan itu mengucap salam. Dia adalah perempuan tua yang berjalan tertatih-tatih yang di bahunya tersampir kain putih penadah beras*.
Ibu lalu memberi beliau beras. Saya pikir perempuan tua itu akan pulang.
Nyatanya, Ibu membawanya masuk dan mempersilakan makan.
Saya langsung kesal pada Ibu saya. Apalagi ketika melihat Ibu tua itu makan dengan lahap (dan menghabiskan jatah ikan saya). Setelah makan, Ibu tua ini berkali-kali berterima kasih pada Ibu saya, dan bersyukur dengan penuh kesyukuran luar biasa. Bagi saya yang masih kecil, itu adegan yang menyentuh yang tidak biasa yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Perempuan tua itu pun banyak mendoakan kebaikan bagi kami, termasuk ketika Ibu bercerita ‘ini bukan rumahnya’, perempuan tua itu pun mendoakan agar kami segera punya rumah.
Kejadian ini bukan yang pertama kali, Ibu beberapa kali melakukannya, mengajak orang yang tidak dikenal untuk makan bersama. Jika ada yang mengartikan tujuan Ibu agar didoakan, tentu ini keliru. Doa-doa mereka adalah bonus. Sering kali yang terjadi, ketika Ibu mengajak mengobrol, orang-orang ini kemudian bertutur jauh lebih banyak, tentang derita yang harus mereka tahan, penat yang tak hilang dan segala hal yang menggelisahkan.
Rupanya Ibu tidak hanya berbagi harta yang ia punya, tapi juga telinga, waktu dan empati.
Pernah saya bertanya : “Ibu, kenapa kita harus ngasih-ngasih ke orang? kita aja susah.” Ibu tertawa dan biasanya berkata, “sesusah-susahnya kita, nggak sampai keliling-keliling buat minta-minta kan.”
Saya mencoba meresapi, mungkin itu memang jawaban yang cocok untuk anak seusia saya.
Lambat laun, ketika ada “tamu”, saya menjadi ikut senang juga. Aneh sekali, bisa-bisanya perbuatan memberi membuat hatimu senang berbunga-bunga ya kan.
Hingga tibalah kami di kejadian yang tidak disangka-sangka: kebakaran.
Sebagian tempat tinggal Nenek-Kakek rusak, sehingga mereka berpindah ke rumah sebelah alias tempat kami. Lalu kami sendiri? Akhirnya, pindah rumah juga. Dengan cara Allah ini, orang tua Bapak ikhlas anaknya pindah dan Ibu tidak perlu bersedih setiap harinya. Satu lagi, sosok yang pernah datang ke rumah kami, beberapa tahun kemudian tidak lagi terlihat meminta-minta, karena sudah memiliki pekerjaan sendiri.
Jangan Takut Berbagi
Ternyata cukup panjang juga saya bercerita. Maafkan.
Saya percaya di masa kini, kita sudah punya mindset yang lebih baik tentang berbagi. Kita meyakini berbagi bukan lagi sebagai sebuah beban yang dikondisikan untuk orang-orang tertentu saja. Sementara sebenarnya, dalam kondisi apa pun kita bisa memberikan rezeki yang kita miliki. Bahkan, jika kita merasa kondisi kita sempit, Allah meminta melapangkannya dengan memberi.
-0-
"Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan."
T. Surat At-Thalaq Ayat 7
Berbagi bukanlah sesuatu yang menakutkan. Tak perlu khawatir kehilangan atau kehabisan, karena akan diganti berkali lipat. Tentang ini, ada banyak sekali ayat dan hadits yang menyebutkannya. Dahsyatnya sedekah tidak hanya diganti dengan harta semata, melainkan apa pun yang diminta, apa pun dicita-citakan, apa pun yang diniatkan.
Pada dasarnya kita bisa berbagi apa saja. Jika dulu, saya sering kedatangan “tamu”, cerita kita pada era kini tentu berbeda. Di era digital seperti sekarang, kita tidak perlu menunggu untuk bisa bersedekah. Saya dan Anda bisa berdonasi lewat Dompet Dhuafa, sebuah lembaga filantropi Islam dalam memberdayakan kaum dhu’afa, yang tidak hanya bersedekah materi tapi juga menangani kaum dhuafa lewat program-programnya yang mencakup bidang ekonomi, pengembangan sosial, kesehatan dan pendidikan.
Berbagi kini menjadi lebih mudah, karena Dompet Dhuafa memberikan ragam pilihan layanan untuk menyalurkan donasi melalui :
- Kanal donasi online
- Transfer bank
- Counter
- Care visit (meninjau langsung lokasi program)
- Tanya jawab zakat
- Edukasi zakat
- Laporan donasi
Karena zaman dan situasi juga berbeda dengan cerita Ibu saya di atas, mungkin kini ada kesan mengkhawatirkan ketika membawa masuk orang ke rumah. Namun, menurut saya berbagi adalah berbagi, jangan sampai menurunkan niat dan keyakinan kita. Apalagi di masa kini, ada lembaga layaknya Dompet Dhuafa yang menjadi penyalur kebutuhan donasi yang ingin kita lakukan. Dengan begini, berbagi atau bersedekah bisa tersalurkan dengan baik karena Dompet Dhuafa telah dipercaya di tengah-tengah masyarakat melakukan pemberdayaan kaum yang membutuhkan uluran tangan. Donasi di Dompet Dhuafa dapat dilakukan dalam bentuk pemberian zakat, infak/sedekah, wakaf dan kemanusiaan.
Saya meyakini berbagi juga merupakan salah satu wujud pemerataan kemakmuran, serta kesetaraan pendidikan. Bagi saya, berbagi berarti menciptakan empati, hal yang membuat saya menjadi manusia yang lebih baik seutuhnya. Dan membuat saya menjadi lapang, baik rezeki maupun hati, meski sebelumnya semua itu terasa sempit.
-000-
--------------------------------------------
*dulu, masih ada para pengemis yang bersampir kain untuk menampung beras.
33 Comments
Saat ini, sangat dipermudah untuk melakukan kebaikan ya, mba. Barakallahu, daku terharu baca kisahmu. Semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Allahumma amiin
Deletesubhanallaaaah terharuuuuu
ReplyDeleteJika ada yang mengartikan tujuan Ibu agar didoakan, tentu ini keliru. Doa-doa mereka adalah bonus. Sering kali yang terjadi, ketika Ibu mengajak mengobrol, orang-orang ini kemudian bertutur jauh lebih banyak, tentang derita yang harus mereka tahan, penat yang tak hilang dan segala hal yang menggelisahkan.
Rupanya Ibu tidak hanya berbagi harta yang ia punya, tapi juga telinga, waktu dan empati.
Manusia memang seringnya saat "memberi" itu malah mengharap Imbal balik ya, terimakasih Lidha udah diingatkan, salam takzim untuk Ibunda yang mengikhlaskan segala yang "dimiliki" semoga Allah selalu paringi kesehatan dan keluasan rejeki amiiin
Mbaaaaaa T_T
ReplyDeleteMeleleh aku baca postingan ini.
Semoga kita semua digolongkan sbg org2 yg ringan sedekah yaa
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Aamiin.
DeleteIbu Mbak hebaat ya. Bisa berbagi di saat sempit. Berbagi biasanya lebih mudah saat lapang. Dan tidak semua orang bisa berbagi di saat sempit.
ReplyDeleteKarena berbagi tak akan mengurangi apa yang kita miliki. Malah dapat ganti yang lebih banyak dan lebih baik lagi ya kak... kisah masa kecil yang menguras emosi dan jdi pembelajaran tersendiri
ReplyDeleteMasya Allah bener banget apa yg dikatakan Ibu bahwa “sesusah-susahnya kita, nggak sampai keliling-keliling buat minta-minta kan.” Smg kita selalu dimudahkan untuk berbagi yah, Kak. AMin
ReplyDeleteIbu sperti mamaku, selalu berbagi kadang anaknya kesel sendiri hahaha
ReplyDeletetapi baru berasa Mama Berbagi untuk anak2nya kelak kalo dah pada menikah pasti banyak rezekinya dari sekitar, amiin, alhamdulillah.
Beneran Berbagi ga akan mengurangi harta kita, bertambah..bertambah teruus.
Iya, saya pernah kesal. Tapi dari situ saya belajar.
DeleteAku terharu membayangkan perempuan yang kenyang lalu mengucapkan terima kasih dan merapalkan doa. Pernah melihat juga saat ibu memberi makan pada orang yang minta-minta.
ReplyDeleteBerbagi memang bisa menumbuhkan empati, ya. Makasih Mbak sharingnya :)
memang kalau kita berbagi walau tak seberapa tp bahagia di hati
ReplyDeleteWow, ibumu kereeen! ikhlas menerima tamu tak dikenal. Aku agak parno sih bawa orang tak dikenal masuk ke rumah.
ReplyDeletezaman dan situasinya beda mba, hehehe
DeleteWhat inspiring story ya mba
ReplyDeleteJd inget almarhum bapak dulu, prinsip nya mirip2
Alhamdulillah skrg semakin mudah ya buat kita utk berbagi tanpa terhalangi kendala teknis...
Semoga kita bs jd manusia yg cinta berbagi amiiin
Haru baca ceritanya mbaa.. semoga kita selalu dimasukkan ke dalam golongan yang ringan berbagi ya mba :)
ReplyDeleteKeren ya Dompet Dhuafa ini. Bikin program donasi yang pas di era milenial ini. Bikin donasi secara online yang membuat siapa saja bisa berdonasi tanpa nunggu punya uang besar. Semoga banyak yang mendapat manfaatnya.
ReplyDeleteDompet Dhuafa emang pas banget bikin program di era seperti sekarang, jadi memudahkan kita untuk berbagi ke sesama ya mbak.
ReplyDeleteCerita yang sangat mengispirasi Mbak. Sekarang dompet dhuafa juga memudahkan kita untuk berbagi ke sesama melalui program²nya ya Mbak.
ReplyDeleteIbunya luar biasa banget. Terharu baca ceritanya. Sementara sekarang kalau kedatangan orang gak dikenal suka khawatir ya, apalagi sampe ngajak masuk rumah dan makan bersama. Tapi ya beda tempat dan kondisi. Untungnya skrg banyak jalan kebaikan lain yang bisa kita lakukan seperti lewat dompet dhuafa
ReplyDeleteMasyaallah, Mbak...sungguh mulia hati ibu ya. Beliau mau berbagi makanan dengan siapapun. Dan memang janji Allah terbukti, dengan berbagi tidak akan rugi. Malah mendatangkan banyak keuntungan.
ReplyDelete:")
ReplyDeleteDalam keadaan apapun harus terus bersyukur ya mak. Aku ini suka ngeluh, jadi malu hati hikz
Semoga kita termasuk orang-orang yang ringan berbagi
Terharuuuu, memotivasi kita untuk terus berbaik dan tidak takut berbagi.
ReplyDeleteMasya Allah ceritanya!! Aku berulang kali membaca nama blog ini, dan berulang kali membaca nama yang mereply komentar teman-teman. Mbak Lidha perjuangan masa kecilnya masya Allah. Alhamdulillah, tertolong dengan cara yang unik ya, Mbak.
ReplyDeleteCeritanya seru dan sekaligis haru Mak. Tapi aku bingung sih sekarang ini peminta minta banyak ya padahal kan sebenarnya ga boleh mengemis ya dalam Islam kalau nggak salah. Makanya alahamdulillah ada lembaga seperti rumah zakat, mau ngasih jadi ga ragu karena mereka bikin yang susah jadi berdaya ya insyaAllah :)
ReplyDeleteMasyaAllah hebatnya, mba. Semangat untuk tidak takut berbagi semoga saja diikuti banyak orang ya mba. Aku senang dengan kampanye DOmpet Dhuafa mba :)
ReplyDeleteSalut dengan kebaikan ibu Mbak. Semoga apa yang diharapkan dan didoakan olehnya semuanya tercapai.
ReplyDeleteJadi ingat Ibuku, Mbak..lebih kurang sama. Memang keikhlasan itu akan berbuah keberkahan ya..
ReplyDeleteDan aku percaya itu, berbagi tidak akan membuat rejeki kita mati, tapi malah bertambah lagi dan lagi
sebagian harta kita milik orang lain..baiknya setiap dapat gaji, disihkan dulu di awal untuk memberi..dari yang sederhana insya allah akan melatih keikhlasan
ReplyDeleteYang selalu ku ingat dari peninggalan almarhum papahku "Jangan pernah lupa untuk terus berbagi dengan orang sekitar" karena dengan berbagi insya Allah membantu kita juga.
ReplyDeleteIya gak perlu takut berbagi krn sesunguhnya harta yang kita bawa mati itu ya harta yang kita donasikan saat i ni ya mbak...
ReplyDeleteBt aku jg mempercayakan sebagian rezeki melalui Dompet Dhiafa mbak, biar diberikan ke yg membutuhkan.
Berbagai tak akan pernah membuat kita rugi, justru menciptakan damai di hati.
ReplyDeleteTerbukti syukur itu memang melapangkan ya Mbak, dan berbagi sama sekali tidak mengurangi. Justru menambah banyak. Sungguh pelajaran hidup yg mahal harganya
ReplyDeleteHai, bila tidak memiliki link blog, bisa menggunakan link media sosial untuk berkomentar. Terima kasih.