Kacamata Patah
Saya sedang mendiamkannya hari itu. Nyaris satu hari. Saya sedang marah, kesal, kecewa. Untuk sekian kalinya gagang kacamata saya patah. Lagi-lagi olehnya. Saya tahu anak kecil pasti akan melakukan ini. Saya lebih marah pada situasi yang ada, marah pada diri sendiri. Jadi, berdiam adalah posisi terbaik.
Sementara dia-C'Mumut kecil tahu saya sedang marah. Dia tidak merengek, rewel atau melakukan tindakan marah kembali. Saya tetap memberi dia makan tentunya, tetap memandikannya. Hanya perasaan saya tidak bisa membaik dengan cepat. Saya memang suka kacamata itu. Sangat suka. Dan tidak tahu harus membeli lagi atau tidak.
Saya mengabaikannya seharian, memilih menjauh. Tidak bernyanyi bersamanya, tidak ikut bermain, menari, tertawa atau mengajaknya mengerjakan pekerjaan rumah bersama. Saya memilih mengerjakan pekerjaan saya sendirian dan dia bergulat dengan kegiatannya. Saya sedang tidak ingin berpikir apa-apa dan hanya ingin bersedih sendiri, memilih memojok dan melipati pakaian di atas ranjang.
Saya tidak tahu dia bosan atau bagaimana, dia mulai mendatangi saya dan mengambil pakaian. Dengan caranya sendiri dia melipat juga. Saya mengangkatnya ke atas ranjang, tapi tetap tidak mengajaknya bicara. Di samping saya ada kacamata patah itu. Tangannya yang mungil mengambilnya, saya berusaha mencegahnya, tapi dia berusaha meolak untuk dicegah. Dia mau kacamata itu. Jadi, saya biarkan saja dia. Saya ingin tahu apa yang ingin dia perbuat. Dengan gerakan yang tepat dia menggoyang-goyang gagangnya, tepat di bagian patah.
Dia tahu dia mematahkannya, dia tahu letak patahnya dan dia tahu saya bersedih, dia berusaha memperbaikinya yang mana tidak akan berhasil. Saya tahu tidak akan berhasil, lalu saya menarik kacamata itu kembali dan sama sekali tidak ada protes darinya. Dia menekuri kegiatan lain, menunjuk-nunjuk radio tua, menunjuk ini-itu pada saya. C'Mumut kecil mengajak saya berdamai.
Sore hari adalah waktu kami berjalan-jalan. Waktu yang sudah terjadwal bagi saya untuk mengajaknya berkeliling. Dan tidak seperti biasanya, dimana dia ingin berlarian. Kali itu dia hanya mendekat ke saya. Dia tidak ingin berlarian. Dia hanya menempel sepanjang waktu. Bahkan tidak ingin berjalan-jalan. Dia meminta digendong dan melingkarkan lengannya ke saya. Sore itu saya menghabiskan waktu dengan menggendongnya.
Malamnya, suasana lebih sepi lagi. Dia mau saja saya tidurkan cepat, tapi ada yang berbeda. Kali ini dia ingin berpelukan. Dia memeluk saya erat. begitu pun tatapannya, lekat.
Saya tidak tahu apakah dia berusaha meminta maaf atau tidak. Karena kenyataannya dia tidak bersalah, saya lah yang bersalah.
Saya tahu dia bukan manja, atau sedang rewel. Dia bukan pula sedang menyusahkan saya, memperumit situasi yang ada. Meski dia yang meminta dipeluk, meski terlihat saya yang memeluknya, sebenarnya dialah yang memeluk saya. Lewat tatapannya saya tahu dia hanya ingin menenangkan saya. Mendinginkan situasi di antara kami.
***
0 Comments
Hai, bila tidak memiliki link blog, bisa menggunakan link media sosial untuk berkomentar. Terima kasih.